Sekolah. Bekerja. Berkeluarga.
Perkelaminan. Hidup ternyata cuma deretan angka-angka.
Berapa umurmu? Apakah nilai sekolahmu selalu bagus? Hei, kau sudah bekerja ya,
berapa gaji pertamamu? Sudah berapa lama ya kita tidak ketemu? Nomor teleponmu
yang sekarang dong? Umur berapa kau menikah? Berapa anakmu sekarang?
Hah. Angka. Angka. Angka.
Sekarang angin membawanya kembali ke sana. Ke tempat ia melewati masa kanak-kanak
dan tahun-tahun awal masa remajanya. Dua puluh tahun lalu. Bukan waktu
sebentar. Cukup untuk mengaburkan segala kenangan masa silam menjadi
serpihan-serpihan samar yang tak lagi jelas warna dan bentuknya. Ah, kenangan.
Bisakah manusia hidup dari kenangan?
Betapa pun ia menyukai kunjungan itu. Apa pun alasannya. Apa pun maknanya. Ia
bisa kembali menginderai perkampungan yang begitu "kampungan" itu
("kampungan". Ia selalu mengucapkan kata itu dengan nada rindu yang
berbekas di ujung lidahnya). Bertemu bau khas memualkan meruap dari selokan
mampet berwarna keruh kehitaman. Terkadang ada bangkai tikus bengkak dengan
perut membesar keputihan, mengambang di selokan. Orang-orang berlalu dengan
sorot mata jijik dan tangan menutup hidung.
Tak ada kata lain yang lebih tepat selain mengakui perkampungan di tengah kota
itu memang jorok betul dan kampungan betul. Padahal, letaknya bersisian dengan
salah satu jalan penting di pusat Jakarta. Sebuah perkampungan tua. Konon
riwayatnya bisa dirunut sejak Sultan Agung dari Mataram memutuskan menyerbu VOC
di Batavia. Prajurit Sultan Agung yang tercecer kemudian menetap di
perkampungan itu, kawin mawin dengan penduduk asli, beranak pinak.
Jangan-jangan mereka desersi karena gagal menaklukkan birahi mereka sendiri.
Bagaimanapun, perkampungan itu pernah ikut mengasuh dan membesarkannya.
***
Marzuki mengajak mampir ke rumahnya. Ia penuhi ajakan itu. Masih rumah lama,
rumah warisan orang tua. Letaknya berdekatan dengan lapangan bulu tangkis
tempat dia bermain di masa kanak-kanak dulu. Sekarang lapangan itu sudah
disemen, rapi, dengan garis-garis permainan dari ubin keramik putih, bukan lagi
irisan bambu.
Hanya rumah Marzuki kelihatannya tidak banyak berubah. Letaknya masih lebih
rendah daripada selokan di depan rumah. Rumah kecil yang catnya mengelupas dan
selalu ramai celoteh kelima anaknya yang masih kecil-kecil. Yang selalu
kebanjiran ketika musim hujan tiba. Marzuki memperkenalkannya pada perempuan
berpenampilan seadanya. Istrinya.
Ia memaksa diri minum teh manis yang dibuatkan perempuan itu. Terlalu manis.
Gelasnya tidak terlalu bersih; masih tersisa aroma sabun. Agaknya dicuci
tergesa-gesa. Gelas murahan, dapat gratis jika membeli barang-barang tertentu
di pasar.
Ia tak membiarkan Marzuki bertanya lebih jauh perihal kehidupannya sekarang.
Buat apa. Ia tahu dunia mereka sudah terlalu jauh berbeda. Justru ia yang sibuk
bertanya-tanya pada kawannya itu mengenai kehidupannya sekarang. Kehidupan
kawan-kawan lama mereka. Orang-orang yang pernah dikenalnya, yang ikut mewarnai
kehidupannya di masa lalu. Begitu banyak perubahan. Bukan untuk mengorek, tapi
sekadar memenuhi rasa ingin tahunya saja.
"Si Jimi?"
"Jadi Bandar putaw. Mati. Ditembak polisi."
"Astaga. Kalo Syafri?"
"Di Arab. Jadi TKI."
"Rima?"
"Di Surabaya. Bini kedua. Anaknya udah tiga."
"Syamsul?"
"Alhamdulillah, dia yang paling bener hidupnya. Sekarang punya pesantren
kecil. Di Bogor."
"Masduki?"
"Kerja di pabrik gelas di Tangerang."
"Ustad Bibi?"
"Meninggal, Man. Tahun lalu. Darah tinggi."
"Innalillaahi…"
Ah, kenangan manis. Masa kanak-kanak. Percakapan mengalir begitu saja.
Wajah-wajah berlintasan. Samar-samar. Sayup-sayup. Ada orang mengaji Quran.
Ingatan mengalir kembali. Ustad Bibi, Habibi, dengan rotan yang tidak pernah
ketinggalan dihantamkan di rehal. Sakitnya cubitan ustad itu. Ia pandai
mencubit seperti perempuan. Kecil, pedih, berbekas di paha.
Terbayang kembali masjid kecil dengan dinding setengah tembok setengah kayu, di
tengah perkampungan, tempat dia belajar mengaji. Suara anak-anak membaca juz
Amma. Ada suaranya di sana. Kecil. Nyaring. Cerita tentang sorga dan neraka.
Nanti di alam kubur akan ditanyai malaikat. Ah, kenangan.
Untuk sesaat, ia juga bisa melihat kemuraman terhapus dari wajah Marzuki.
Mereka tertawa, semakin larut dalam kenangan masa kanak-kanak.
"Tapi sekarang perkampungan ini tambah gersang ya, Ki? Pohon gede semakin
jarang kelihatan."
Marzuki mengangguk, masih ingat betapa mereka dulu begitu gemar memanjat pohon.
Sekarang perkampungan itu semakin kehilangan pohon besar yang bisa dipanjat
anak-anak. Mungkin karena rumah-rumah semakin tumbuh merapat. Tak ada lagi
lahan tersisa untuk tumbuh sebatang pohon besar yang bisa dipanjat anak-anak.
Padahal, begitu cintanya mereka waktu itu pada pohon tinggi. Pohon apa saja.
Makin tinggi makin menantang. Ya, ia tetap mengingatnya dengan baik. Pohon
mangga, pohon jambu air, pohon seri, pohon cereme. Bahkan pohon buni di dekat
rumah kosong yang angker dan konon ada penghuninya, dengan buah kecil-kecil
yang masam dan segar buat kelengkapan rujak tumbuk. Jenis buah yang tak lagi
dikenali anaknya yang terbiasa dengan buah-buahan impor yang berderet di super
market. Ah, Jakarta, ibu kota ini terlalu pelit dalam memberikan pohon di
lingkungan pemukiman. Khususnya di perkampungan macam ini.
Mendadak Marzuki mengajaknya ke luar rumah. Ia mengikuti dengan pandangan
bertanya. Masih di dekat lapangan bulu tangkis itu, Marzuki berhenti. Ada
sebuah tempat anak-anak muda kampung itu biasa berkumpul.
"Masih ingat tadinya di sini ada apa?"
Ia tersenyum. Mengangguk.
"Pohon jaran. Kak Ila," bisiknya.
"Hehehe… ingetan kamu masih bagus, Man."
Ia tersenyum. Samar. Dulu di tempat itu memang ada sebatang pohon jaran. Entah
apa nama latinnya. Pohonnya tinggi, besar, kokoh, sekitar 30 meter menjulang ke
langit. Daunnya kecil-kecil, rimbun. Pohon kesayangannya. Hampir setiap ada
kesempatan ia selalu menaikinya. Bahkan pernah bersama Marzuki ia membuat
rumah-rumahan kecil dari kayu, di pohon itu. Ia senang berada di atas. Seolah
tangannya bisa menjangkau langit biru. Gedung tinggi Jakarta terlihat di
kejauhan. Mosaik pemukiman sekitarnya. Jika beruntung, pagi-pagi sekali, ia
bahkan masih bisa melihat Gunung Salak dan Gunung Gede di kejauhan. Ia bisa
menuntaskan khayalannya menjadi petualang perkasa yang menaiki tiang-tiang
tinggi kapal layar yang berlayar di tengah samudera. Bahkan ia betah berjam-jam
berada di atas pohon itu.
Dan sebuah kamar mandi umum tanpa atap, radius sekitar 30 meter dari pohon itu.
Ingatan yang tak pernah lekang dari benaknya. Ketika dari atas pohon itu, tanpa
sengaja, ia dan Marzuki memergoki tubuh perempuan dewasa yang sedang mandi.
Utuh. Penuh. Sempurna. Dengan paha bak pualam, payudara indah seperti keramik
Cina. Tanpa sehelai benang pun. Ia melihat semuanya. Tubuh bu**l Kak Ila, istri
Mas Agus, tetangganya. Basah berlumur busa sabun.
Pemandangan itu, meskipun hanya satu kali, begitu mengesankan dan sempat
bersemayam lama di hatinya. Membuat dada kanak-kanaknya yang tengah memasuki
masa peralihan ke usia remaja, selalu berdesir. Untuk pertama kalinya ia
merasakan desakan gairah begitu kuat di sekitar celananya.
"Kamu tahu Man, aku onani pertama kalinya ya setelah ngeliat Kak Ila itu.
Malamnya ketakutan setengah mati. Mikir, kemakan omongan orang, kalau onani bisa
jadi buta dan gila. Bego ya, dasar anak-anak," bisik Marzuki sambil
nyengir dan mengedipkan matanya.
Ia tersenyum simpul. Hal yang sama juga terjadi pada dirinya.
Sekarang pohon itu sudah tidak ada. Ditebang beberapa tahun lalu. Di bawahnya
dibangun pos ronda. Namun, ia masih bisa melihat sisa pohon itu. Bonggol akar
dan pangkal batangnya dibuat semacam meja oleh anak-anak muda kampung itu. Meja
kayu yang tampak tua, hitam mengkilat karena dipernis berulang kali.
Meskipun hanya sebentar, ia tahu perjalanannya ke perkampungan yang pernah
ditinggalinya itu memuaskan rasa ingin tahunya. Ada janji lain yang harus
dipenuhinya kepada seorang relasi. Waktu untuk berpisah sudah tiba. Ia segera
berpamitan pada Marzuki, masih sempat menyumpalkan lembaran uang ke tangan
kurus itu
"Apaan nih, Man. Masya Allah, banyak bener. Enggak salah nih. Lima ratus
ribu. Makasih ya, Man."
"Kalau ada tawaran harga cukup bagus untuk ngelepas rumah dan tanahmu,
terima aja ya, Ki," katanya sambil bergerak menjauh dan melambaikan
tangannya.
"Apa, Man?" Marzuki tak begitu mendengar perkataannya, karena masih
terperangah pada rezeki nomplok yang hinggap di tangannya.
***
Dalam mobil yang membawanya ke salah satu hotel bintang lima di pusat kota, ia
tahu ia tidak terganggu dengan kenangan sesaat dari perkampungan itu.
Keputusannya tidak berubah.
Ia menelepon sekretarisnya. "Halo, Katrin, bagaimana dengan persetujuan
gubernur? Sudah turun hari ini? Bagus! Saya sudah melihat lokasi itu. Sampaikan
pada semua staf, saya minta mulai bergerak hari ini juga," pesannya dengan
nada tegas.
Persetujuan dari gubernur sudah turun untuk studi kelayakan yang dibuat timnya
terhadap wilayah itu. Cepat atau lambat warga perkampungan yang pernah menjadi
tetangganya akan tergusur dari lahan itu. Dengan cara apa pun. Ia mengeraskan
hatinya. Wajah-wajah mereka yang pernah dikenalnya di perkampungan itu
berlarian di benaknya.
Sekarang ia siap kehilangan tempat itu. Perkampungan yang mandek dan tersesat
dalam waktu. Mungkin terasa pahit pada awalnya. Tapi, obat pahit dibutuhkan
untuk menyembuhkan sakit dan melanjutkan hidup. Pohon kokoh bisa ditebang jika
tak dibutuhkan lagi. Marzuki dan keluarganya? Teman-temannya yang lain?
Tetangganya di masa lalu? Terima kasih. Mereka akan selalu menjadi bagian kenangan
hidupnya. Namun biarlah sang nasib yang akan mengatur hidup mereka selanjutnya.
Ia pun hanya menjalani nasib dan kehidupannya sendiri. Ia tahu itu. Sejak lama.
Ia juga tahu berapa harga pantas untuk sebuah kenangan. Tolol kalau membiarkan
perkampungan itu tetap ada dalam peta Jakarta. Lokasinya terlalu strategis
untuk diabaikan dari sudut pandang ekonomi. Ia tahu ia bisa menyulapnya.
Ah, pesulap. Tiba-tiba saja ia ingat nama-nama itu.
"Rustam, kamu tahu pesulap yang namanya Houdini atau David Copperfield?"
Ia bertanya pada sopirnya.
"Yang David itu pernah dengar, Tuan. Yang satu lagi, belum. Kenapa,
Tuan?"
"Tidak apa-apa."
Ia tersenyum. Dengan koneksi, modal, dan kekuasaan yang dimilikinya, ia tahu ia
bisa menjadi "pesulap" yang lebih baik daripada Houdini atau David
Copperfield! ***
Jakarta, akhir Januari-awal Mei 2004
Untuk Ulfi Faizah di Malang